Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada
ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab, Ibu
adalah seorang wanita, Nak". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi.
Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan
pernah mengerti...."
Kemudian anak itu bertanya pada ayahnya,
"Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab
yang jelas?" Sang ayah menjawab, "Semua wanita memang menangis tanpa ada
alasan." Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya. Lama kemudian,
si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa
wanita menangis.
Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya
kepada Tuhan, "Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?" Dalam
mimpinya Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi
sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban
dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut
untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.
Kuberikan wanita
kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan bayi dari rahimnya,
walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari
anaknya itu. Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan,
pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa.
Pada wanita
Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau
sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah. Kuberikan wanita, perasaan
peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi
apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu
melukai perasaannya, melukai hatinya.
Perasaan ini pula yang akan
memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap.
Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan
lembut olehnya.
Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing
suaminya, melalui masa-masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab,
bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar
tak terkoyak?
Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan
untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik
adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau seringkali pula,
kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada
suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling
menyayangi.
Dan akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat
mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita,
agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang
dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata
kehidupan".
Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu kalau beliau masih hidup, karena di kakinyalah kita menemukan surga.
fatimah ma
SSA;;)
Senin, 22 April 2013
Jumat, 05 April 2013
Semua Tentang Kita
Di
sebauh SMP sekolah di Jogja hiduplah tiga orang gadis cantik yang sudah
bersahabat sejak lama tapi memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda. Ima,
Nurul dan Raras itu nama mereka bertiga. Mereka selalu hidup rukun, tidak
pernah terlihat ada pertengkaran diantara mereka bertiga.
Ima,
adalah gadis cantik, hidupnya sederhana, dan cerdas. Namun, kepribadiannya
dirumah sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya disekolah. Saat di rumah
ia cenderung diam, jarang kelua kamar, jarang tertawa, dan tertutup. Namun di
sekolah ia adalah gadis yang aktif, ceria, periang, dan humoris. Kepribadiannya
yang pendiam saat dirumah itu disebabkan oleh hubungannya dengan seluruh
anggota keluarganya di rumah yang sering tidak sejalan. Ima selalu merasa sendiri
saat di rumah, tidak ada teman, tidak ada yang memperhatikannya. Bahkan dalam
setiap permasalah dia yang paling sering salahkan. Namun di sekolah Ima merasa
memiliki banyak teman, banyak yang memperhatikan, dan ada Nurul dan Raras yang
menyayanginya dan selalu ada untuknya.
Nurul.
Adalah anak yang ceria, dan cantik. Namun sejak sekolah dasar orangtuanya sudah
bercerai. Kini ia tinggal bersama ayahnya yang hanya bekerja sebagai tukang
parkir di sebuah toko bangunan. Namun Nurul terkenal sangat ramah kepada semua
teman-temannya. Wajah Nuul sangat mirip dengan Ima. Seringkali orang-orang
mengira mereka adalah saudara kembar. Kehidupan keluarganya yang berantakan
juga membuat Nurul tidak betah berada di rumah. Sebenarnya ia memiliki seorang
kakak perempuan, namun kini kakak permepuannya sedang bekerja di Batam. Nurul
sering merasa sedih ketika sedang “curhat” dengan Ima dan Raras tentang masalah
keluarganya. Namun Ima dan Raras selalu mengatakan bahwa mera aka selalu ada
bersamanya.
Raras.
Seorang gadis gendut yang tomboi tapi modis ini tidak bisa ditebak. Namun gadis
ini sangat baik hati, tidak sombong, dan humoris. Dia tidak suka banyak
bercerita tentang keluarganya, namun dia sangat sering menceritakan
teman-temannya di tempat les atau teman rumahnya. Ya, Raras adalah gadis yang
punya banyak teman di sekolah ataupun diluar sekolah.
Saat detik-detik kelulusan, saat
saat ini malah membuat tiga gadis ini sedih. Karena mereka pasti akan berpisah
sekolah dan akan jarang bertemu lagi. Yang biasanya hampir setiap hari mereka
bertemu dan menceritakan segalanya, kini mereka harus berpisah. Walaupun mereka
masih bisa berhubungan lewat sms atau main bareng pada saat liburan, hal itu
tetap membuat ketiga gadis ini bersedih. Mungkin rasa cemburu nanti yang akan
dipermasalahkan. Dalam artian mereka takut saat mendapatkan teman-teman baru di
SMA mereka akan melupakan satu sama lain. Namun mereka bertiga berjanji akan
tetap menjadi Ima, Nurul, dan Raras yang seperti ini.
Kini mereka sekolah ditempat yang
berbeda. Namun semoga saja hal itu tidak membuat persahabatan mereka renggang. Mereka saling mendoakan semoga teman mereka menjadi orang yang lebih dewasa di jenjang berikutnya...
Minggu, 10 Maret 2013
KUMPULAN KISAH NYATA PEMBERI INSPIRASI DAN MOTIVASI HIDUP
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas di lihat, barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat.
Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusan plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih.
Astaga, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp 7.500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp 250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu.
Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp 10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis.
Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini : “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.
Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka semoga saja perbuatan baik kita dapat berbuah menjadi suatu akibat yang baik pula, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Langganan:
Postingan (Atom)